Penghapusan Ujian Nasional (UN)

Diposting pada

Pada postingan kali ini saya akan sedikit menulis tentang Ujian Nasional (UN). Tentunya tulisan ini hanya opini pribadi, sehingga jika ada yang kurang tepat mohon dimaklumi. Apalagi saya bukanlah ahli pendidikan, hanya mantan anak sekolah. 

Sebagai anak kelahiran 1996 saya mengalami UN lengkap mulai dari tingkat SD, SMP, SMA. Ya, saya adalah generasi pertama yang mengalami UN tingkat SD yang waktu itu disebut UASBN. Tepatnya pada tahun 2008, saya merasa menjadi “kelinci percobaan”. Tentu saja waktu itu terjadi pro kontra dimana-mana dan mendapatkan sorotan pemberitaan di media masa terutama tv. Tahun-tahun itu memang UN sangat menakutkan, karena merupakan syarat mutlak bagi kelulusan. Sehingga tak mengherankan setelah lulus UN banyak siswa mengungkapkan kegembiraan nya dengan berbagai cara yang kadang terlalu berlebihan. Namun yang jadi masalah utama adalah ketika ada siswa yang tak lulus menjadi stress, depresi bahkan sampai mengakhiri hidup. Kesannya sekolah selama bertahun-tahun hanya ditentukan dalam beberapa hari saja. Itulah yang kemudian menuai polemik hingga memunculkan tuntutan penghapusan UN.
Tahun-tahun selanjutnya UN mengalami perbaikan disana-sini. Nilai UN tidak lagi 100% menjadi penentu kelulusan namun memeperhatikan juga nilai dari sekolah. Kalau ga salah proporsinya 40:60. 
Namun disisi lain UN pun semakin diperketat. Kadang ini malah menambah beban siswa. Kali ini saya lagi-lagi menjadi bagian dari generasi pertama yang merasakan terobosan baru dalam pelaksanaan UN tingkat SMP. Waktu itu tahun 2011, paket soal UN dibuat dalam 5 paket soal dari yang awalnya hanya 2. Sehingga memeperkecil kemungkinan peserta ujian nyontek. Belum lagi pengawalan dan pengawasan yang ketat pada waktu itu semakin menambah tekanan peserta ujian. Setelah itu semakin santerlah wacana untuk penghapusan UN. Namun ini tidak membuat pemerintah menghapuskan UN. Pelaksanaan UN diperbaiki sedemikian rupa dan terobosan baru pun terus di lakukan. 
Pada pelaksanaan UN SMA 2014 saya menjadi peserta ujian. Kali ini peraturan nya semakin ketat. Dari 20 peserta di ruangan ujian semua paket soalnya berbeda dan random, dengan kode berupa barcode. Sehingga tak ada seorangpun yang tau paket soal apa yang dikerjakan. Karena pengkodean nya dengan barcode bukan huruf A,B,C dst. Dengan soal yang memiliki kesulitan cukup tinggi (bahkan menurut saya sangat tinggi), nilai saya pun sangat kecil waktu itu. Beruntungnya saya masih bisa lulus. Itu menjadi pengalaman terakhir saya melaksanakan UN. Saya tidak pernah merasakan UNBK (Ujian Nasional Berbasis Komputer). Saya hanya mengisi di LJK (Lembar Jawab Komputer), yang diisi dengan pensil 2B. Kadang masih khawatir kalaupun jawabannya benar, takutnya tidak terbaca saat di scan. Khawatir kurang hitam saat melingkari jawaban, atau kertas robek dan lainnya. Namun katanya yang UNBK pun banyak kendala server, tapi entahlah saya belum pernah mengikuti UNBK. 
Melihat dari perjalanannya, pengembangan UN sangatkah panjang. Semakin tahun semakin diperbaiki. Namun pada akhirnya tibalah pada keputusan untuk menghapuskan Ujian Nasional. Tahun 2020 ini seharusnya adalah tahun terakhir pelaksanaan UN. Namun hal itu tidak terlaksana sebagai akibat dari pandemi corona, yang menyebabkan pelaksanaan UN tidak memungkinkan untuk dilaksanakan. Manusia memang hanya berencana, namun Tuhan yang menentukan. Beruntungnya pemerintah memang  merencanakan penghapusan UN mulai tahun 2021, sehingga tidak terlaksana nya UN di 2020 tidak terlalu berpengaruh besar. Walaupun tahun ini juga pengganti UN belum siap. Sehingga angkatan ini mungkin menjadi pengecualian dimana lulus hanya dengan nilai sekolah saja. 
Disisi lain ada perasaan menyayangkan keputusan penghapusan UN, namun melihat bahwa dari awal memang banyak usulan penghapusan UN mungkin memang itu keputusan terbaik. Terlebih UN dari awal memang memiliki image menakutkan dan disinyalir masih banyak kekurangan. Beberapa soal pun seringkali dinilai tidak sesuai. Keputusan penghapusan UN juga tidak serta merta menghilangkan evaluasi pemerintah terhadap hasil kegiatan belajar mengajar di sekolah. Semoga pengganti UN nantinya akan jauh lebih baik dan semakin memajukan pendidikan di Indonesia. Saya merasa beruntung bisa mengalami Ujian Nasional (UN), dan angkatan selanjutnya pun pasti memiliki keberuntungan yang lain.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *